Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan lezatnya keimanan, orang yang merasa ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim dari al-Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu)
Bulan Ramadhan adalah musim kebaikan, tatkala pintu-pintu surga dibuka dan semua pintu neraka ditutup. Di bulan ini Allah mewajibkan shaum atau shiyam Ramadhan. Sebuah ibadah yang sangat dicintai oleh Allah ta’ala. Dengan menjalani puasa selama sebulan ini seorang hamba dididik untuk mengendalikan dirinya, meninggalkan hal-hal yang disukai oleh nafsunya demi menggapai kecintaan dan keridhaan Rabbnya. Sebuah bentuk ibadah yang mencakup tiga sisi kesabaran; sabar dalam menjalankan ketaatan, sabar dalam menjauhi kemaksiatan, dan sabar dalam menerima takdir yang terasa menyakitkan. Dengan menahan lapar dan dahaga, semenjak terbit fajar di pagi buta hingga terbenamnya matahari di kala senja.
Dengan berpuasa Ramadhan, maka seorang hamba berupaya menegakkan agamanya, melengkapi keimanannya, menggapai ampunan dan pahala dari Tuhannya, dan menempa diri untuk menjadi pribadi yang bertakwa; pribadi yang patuh kepada Rabbnya. Disamping itu, ternyata pada bulan Ramadhan masih terdapat ibadah-ibadah lainnya yang tidak khusus diperintahkan pada bulan ini saja, namun ia bersifat umum -di bulan apa pun- selama seorang hamba masih diberi usia dan mampu untuk menjalankannya.
Berpuasa, berarti menunaikan tugas hidup kita
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Puasa adalah ibadah yang kita diperintahkan untuk menunaikannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 183)
Puasa, ibadah yang sangat dicintai-Nya
Puasa Ramadhan adalah ibadah yang wajib ditunaikan, sedangkan ibadah yang wajib lebih dicintai daripada ibadah sunnah, apalagi puasa Ramadhan merupakan rukun Islam. Allah ta’ala berfirman dalam hadits qudsi, “Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu ibadah yang lebih Aku cintai daripada ibadah yang Aku wajibkan kepadanya…” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima pilar; syahadat bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)
Puasa, sebuah ketetapan yang harus diterima
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang yang beriman lelaki atau perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas ada bagi mereka alternatif yang lainnya. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36).
Puasa, dapat menggugurkan dosa
Manusia bergelimang dengan salah dan dosa, maka berkat rahmat dari-Nya Allah menjadikan ibadah yang agung ini sebagai salah satu sebab penghapusan dosa, namun hal ini khusus diberikan kepada hamba-Nya yang ikhlas dan mengikuti tuntunan dalam menjalankannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mencari pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat lima waktu, jum’at yang satu menuju jum’at yang lain, Ramadhan yang satu menuju Ramadhan yang lain, merupakan penghapus dosa yang terjadi di antaranya, selama perbuatan dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Puasa, bukan sekedar menahan lapar dan dahaga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa itu bukan sekedar menahan dari makan dan minum, akan tetapi puasa yang sebenarnya ialah dengan menahan diri dari kesia-siaan dan perbuatan kotor.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim, sanadnya sahih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun yang didapatkannya hanyalah lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, al-Baihaqi, sanadnya sahih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai ihsan, “Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, apabila kamu tidak sanggup -beribadah seolah-olah- melihat-Nya maka sesungguhnya Dia maha melihat dirimu.” (HR. Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu)
Harus ikhlas dan sesuai tuntunan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seluruh amalan dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, niscaya hijrahnya akan sampai kepada Allah dan rasul-Nya. Namun, barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, niscaya hijrahnya hanya akan memperoleh apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membuat-buat dalam urusan agama kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya, niscaya hal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha)
Berpuasa dan berhari raya dengan patokan hilal
Hilal adalah bulan sabit kecil yang tampak di awal bulan hijriyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah karena melihatnya -hilal- dan berhari rayalah karena melihatnya. Apabila ia -hilal Ramadhan- tertutup mendung maka genapkanlah bulan -sebelumnya, yaitu Sya’ban- menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Apabila hilal sudah tampak dengan persaksian minimal satu orang kemudian diterima dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang di suatu negara, maka saat itulah kaum muslimin memulai puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa ialah tatkala kalian bersama-sama puasa, demikian juga hari raya ialah ketika kalian bersama-sama berhari raya.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, sahih). Adapun untuk penetapan hari raya dibutuhkan minimal dua saksi.
Tidak berpuasa di hari yang diragukan
Hari yang diragukan adalah tanggal tiga puluh bulan Sya’ban, dan terkadang ketika itu sudah tersebar berita tampaknya hilal di sebagian tempat namun belum ditetapkan oleh pihak yang berwenang bahwa hari tersebut adalah awal puasa. Maka berpuasa pada hari itu adalah terlarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan itu maka dia telah durhaka kepada Abul Qasim -yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. As-habus Sunan dengan sanad sahih dan Bukhari secara mu’allaq dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhuma).
Musafir dan orang sakit
Apabila orang sakit -yang masih bisa diharapkan kesembuhannya- dan musafir tidak mendapati kesusahan dengan berpuasa maka puasa lebih utama, namun apabila ternyata dengan puasa justru semakin menyusahkan maka tidak puasa lebih utama. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kalian yang menderita sakit atau sedang menempuh perjalanan/safar hendaknya dia menggantinya di hari-hari yang lain.” (QS. al-Baqarah: 184). Suatu ketika Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hukum puasa ketika safar, maka beliau menjawab, “Kalau kamu mau silahkan puasa, dan kalau kamu mau maka silahkan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha). Berbuka ketika safar adalah keringanan/rukhshah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hal itu adalah keringanan dari Allah, barangsiapa yang mengambilnya maka itu baik, dan barangsiapa yang ingin untuk berpuasa maka tidak ada dosa atasnya.” (HR. Muslim dari Hamzah bin Amr al-Aslami radhiyallahu’anhu). Puasa boleh saja selama hal itu tidak memberatkan si musafir. Karena apabila justru memberatkan maka semestinya dia berbuka. Oleh sebab itu di kesempatan yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bukan termasuk kebaikan berpuasa ketika safar.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Jabir radhiyallahu’anhu).
Perempuan haidh dan nifas
Apabila seorang perempuan mendapati haidh atau nifas pada suatu waktu dalam suatu hari, entah di awal siang atau di akhirnya maka dia harus berbuka -tidak meneruskan puasa- dan mengganti puasa di hari yang lain. Seandainya dia tetap berpuasa, maka puasanya tidak sah. Mu’adzah pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Mengapa perempuan haidh mengqadha’ puasa namun tidak mengqadha’ sholat?”. Maka beliau menjawab, “Apakah kamu penganut Haruriyah (Khawarij)?!”. Aku berkata, “Bukan, aku hanya ingin bertanya.” Maka beliau berkata, “Dahulu kami mengalami hal itu dan kami hanya diperintahkan untuk mengqadha’ puasa namun kami tidak diperintahkan mengqadha’ sholat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibu hamil dan menyusui
Ibu hamil dan menyusui apabila tidak sanggup/tidak kuat berpuasa atau mengkhawatirkan kesehatan bayi atau janinnya maka boleh tidak puasa dan cukup membayar fidyah berupa makanan yang cukup mengenyangkan untuk satu orang miskin sebagai ganti setiap hari yang ditinggalkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menggugurkan kewajiban puasa dan separuh sholat bagi musafir, dan juga menggugurkan kewajiban puasa bagi ibu hamil dan menyusui.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, hasan). Suatu ketika, Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma ditanya mengenai ibu hamil yang mengkhawatirkan kondisi janinnya jika dia tetap berpuasa, maka beliau menjawab, “Hendaknya dia berbuka dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap harinya sebanyak satu mud gandum.” (HR. al-Baihaqi dengan sanad sahih). Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma juga berkata, “Ibu hamil dan menyusui berbuka dan tidak perlu mengqadha’.” (HR. ad-Daruquthni, sahih)
Kakek-kakek dan nenek-nenek
Kakek-kakek dan nenek-nenek atau orang yang menderita sakit parah dan sulit diharapkan sembuh maka tidak perlu puasa dan cukup memberikan makan bagi satu orang miskin sebagai ganti setiap hari puasa yang ditinggalkannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang yang tidak mampu melakukan puasa itu hendaknya membayar fidyah berupa makanan bagi orang miskin.” (QS. al-Baqarah: 184). Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Ayat ini tidak dihapus hukumnya, akan tetapi ia masih berlaku bagi lelaki dan perempuan yang sudah tua renta dan tidak mampu lagi berpuasa sehingga mereka hanya perlu memberikan makan untuk satu orang miskin demi mengganti setiap hari yang ditinggalkannya.” (HR. Bukhari)
Anak kecil dan orang gila
Kewajiban puasa ini pun gugur bagi anak kecil yang belum baligh ataupun orang gila. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pena diangkat dari tiga golongan; dari orang gila sampai dia sembuh, dari orang yang tertidur sampai dia bangun, dan dari anak kecil sampai dia ihtilam/mimpi basah.” (HR. Abu Dawud, sahih dari Aisyah radhiyallahu’anha)
Pembatal puasa
Makan, minum, muntah, dan berhubungan suami istri secara sengaja membatalkan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang lupa padahal dia sedang puasa kemudian makan dan minum maka hendaknya dia menyempurnakan puasanya, karena Allah lah yang memberi makan dan minum kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Dalam lafal yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membatalkan puasa pada suatu hari di bulan Ramadhan dalam keadaan lupa maka tidak ada qadha’ baginya dan tidak pula kaffarah/tebusan.” (HR. ad-Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, sanadnya sahih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang muntah secara tidak sengaja maka tidak ada qadha’ baginya, namun barangsiapa yang secara sengaja muntah maka hendaknya dia mengqadha’/menggantinya di hari yang lain.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, ad-Daruquthni sahih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).
Kaffarah berhubungan suami istri
Apabila seorang lelaki dengan sengaja melakukan hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan maka dia wajib membayar kaffarah/tebusan dengan ketentuan sebagaimana dalam hadits berikut. Dikisahkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, suatu ketika ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melapor, “Wahai Rasulullah, aku binasa.” Beliau berkata, “Apa yang membuatmu binasa?”. Dia menjawab, “Aku telah berhubungan dengan istriku di -siang hari- bulan Ramadhan.” Maka Nabi mengatakan, “Apakah kamu mampu untuk memerdekakan seorang budak.” Dia menjawab, “Tidak.” Lalu beliau berkata, “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?”. Maka dia menjawab, “Tidak.” Lalu beliau berkata, “Apakah kamu mampu memberikan makanan untuk enam puluh orang miskin?”. Dia menjawab, “Tidak.” Lantas beliau berkata, “Duduklah.” Kemudian dia duduk. Lalu setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat pemberian sekeranjang kurma. Kemudian Nabi bersabda, “Bersedekahlah dengannya!”. Maka lelaki itu menjawab, “Tidak ada orang di antara kedua lembah ini yang lebih miskin daripada kami.” Maka Nabi pun tertawa sampai tampak gigi taringnya, lalu beliau bersabda, “Ambil ini, dan beri makan keluargamu dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bertekad puasa di malam harinya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak membulatkan tekad untuk berpuasa sebelum fajar/subuh maka tiada puasa baginya.” (HR. As-habus Sunan, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, sanadnya sahih). Sementara, tekad atau niat itu tempatnya di dalam hati, sehingga tidak perlu diucapkan. Seandainya apa yang diucapkan menyelisihi apa yang di dalam hati, maka yang menjadi patokan adalah apa yang di dalam hati. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan untuk mengucapkan niat maka kita pun tidak usah mengucapkannya. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan di dalam urusan agama.
Jauhilah penyimpangan!
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaknya merasa takut orang-orang yang menyelisihi perintah/urusan rasul itu, sebab mereka nanti akan tertimpa fitnah/bencana atau menimpa mereka azab yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur: 63). Imam Malik rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menciptakan suatu bid’ah yang dia pandang sebagai kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengkhianati risalah…”
Menuai berkah dengan makan sahur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan sahurlah, karena sesungguhnya di dalam santap sahur itu terkandung berkah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pemisah antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim dari Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik hidangan sahur seorang mukmin adalah kurma.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dengan sanad sahih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan sahurlah, meskipun hanya dengan seteguk air.” (HR. Abu Ya’la dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, hasan)
Mengakhirkan sahur
Hendaknya menunaikan sahur beberapa saat menjelang adzan dikumandangkan. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu’anhu, dia berkata, “Dahulu kami pernah sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian setelah itu beliau pun bangkit menuju sholat -Subuh berjama’ah, pent-.” Aku -Anas- berkata, “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?”. Dia (Zaid) menjawab, “Sekitar -lamanya waktu membaca- lima puluh ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Batas akhir santap sahur
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Silahkan makan dan minum sampai jelas bagimu perbedaan antara benang putih dengan benang hitam, yaitu terbitnya fajar.” (QS. al-Baqarah: 187). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan, “Yang dimaksud dengannya adalah hitamnya malam dan putihnya siang.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka ia tidak menyebabkan tidak bolehnya makan (sahur) dan tidak menyebabkan bolehnya sholat (subuh). Sedangkan yang kedua menyebabkan tidak boleh lagi makan (sahur) dan membolehkan sholat (subuh).” (HR. Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, sanadnya sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian sudah mendengar adzan sementara bejana (gelas atau sendok, pent) masih di tangannya maka janganlah dia letakkan sampai dia selesai menunaikan kebutuhannya dari bejana tersebut.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Jarir, al-Hakim, al-Baihaqi, Ahmad dengan sanad hasan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Dalil-dalil ini menunjukkan dengan jelas bahwa batas akhir makan sahur adalah pada saat berkumandangnya adzan, yaitu ketika terbit fajar shodiq, bukan sepuluh menit sebelum adzan!
Dua raka’at qabliyah subuh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua raka’at fajar -yaitu sebelum subuh, pent- adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak sempat melakukan sholat dua raka’at fajar maka hendaknya dia menunaikannya setelah matahari terbit.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban, sahih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menceritakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya membaca dalam dua raka’at fajar (qabliyah subuh) ‘Qul yaa ayyuhal kafirun’ dan ‘Qul huwallahu ahad’.” (HR. Muslim)
Sholat subuh berjama’ah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sholat yang paling berat bagi kaum munafikin adalah sholat ‘isyak dan subuh -berjama’ah-, seandainya mereka mengetahui pahala yang ada pada keduanya niscaya mereka akan mendatanginya meskipun harus sambil merangkak.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendengar seruan adzan lantas tidak mendatanginya -sholat jama’ah- maka tiada sholat baginya, kecuali karena ada udzur yang menghalanginya.” (HR. Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi, sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian larang istri-istri kalian untuk berangkat ke masjid, namun sebenarnya rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka -untuk sholat di sana, pent-.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, sahih dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma).
Luruskan shof!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskan shof-shof kalian, sesungguhnya lurusnya shof adalah bagian dari kesempurnaan sholat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)
Dzikir setelah subuh
Ummu Salamah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan doa setelah salam dari menunaikan sholat Subuh, ‘Allahumma inni as’aluka ‘ilman nafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutabbalan’ (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezki yang baik, dan amal yang diterima) (HR. Ibnu Majah dan Ahmad, sahih)
Manfaatkan waktu sebaik mungkin
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi waktu, sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 1-3). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah nikmat yang banyak orang tertipu dalam menyikapinya; yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma)
Perbanyak dzikir
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku serta janganlah kalian kufur/ingkar.” (QS. al-Baqarah: 152). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. al-Ahzab: 41-42). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan, maka apakah yang terjadi pada seekor ikan tatkala ia dipisahkan dari air?”
Jangan tinggalkan sholat!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah sholat, barangsiapa yang meninggalkannya sungguh dia telah kafir.” (HR. Ibnu Majah, Nasa’i, Tirmidzi, sahih dari Buraidah radhiyallahu’anhu)
Jaga lisan dan anggota badan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berkata baik atau diam saja.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah satu ciri kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.” (HR. Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, hasan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila pada suatu hari salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah dia berkata-kata kotor, berteriak-teriak ataupun betindak dungu. Kalaupun ada orang yang mencaci-maki dirinya hendaklah dia katakan kepadanya; Saya ini sedang puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Tetap jaga pandangan!
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada para lelaki yang beriman; Hendaknya mereka menundukkan pandangan mereka serta menjaga kemaluan mereka, hal itu pasti lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha teliti terhadap apa pun yang mereka lakukan.” (QS. an-Nuur: 30). Allah ta’ala juga berfirman kepada kaum perempuan (yang artinya), “Hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berdandan -mengumbar aurat, pent- seperti halnya cara dandan kaum jahiliyah yang pertama…” (QS. al-Ahzab: 33)
Jauhi musik dan nyanyian!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya akan ada di antara umatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr, dan ma’azif (alat-alat musik).” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan nada tegas, sahih dari Abu Amir atau Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu’anhu). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Nyanyian akan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.”
Saatnya untuk menghentikan rokok
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian sampai dia menyukai bagi saudaranya apa (kebaikan) yang disukainya bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh mendatangkan bahaya, secara sengaja ataupun tidak sengaja.” (HR. Ibnu Majah, ad-Daruquthni, sahih dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu)
Jangan pelit!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Harta tidak akan berkurang karena sedekah. Tidaklah seorang hamba memaafkan melainkan Allah akan tambahkan kemuliaan baginya. Dan tidaklah seorang pun yang bersikap tawadhu’/rendah hati melainkan pasti akan ditinggikan kedudukannya oleh Allah ta’ala.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Segera berbuka jika sudah tiba saatnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang -umat Islam- akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka senantiasa menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila malam telah datang dari arah sana dan siang telah pergi dari arah sana dan matahari pun sudah tenggelam maka orang yang berpuasa sudah -boleh- berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Umar radhiyallahu’anhu)
Doa sebelum berbuka
Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma menceritakan bahwa, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak berbuka maka beliau membaca doa, ‘Dzahabadh dhama’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah’ (akan hilang dahaga, terbasahi kerongkongan, dan pahala pun didapatkan dengan izin Allah).” (HR. Abu Dawud, hasan)
Makan dengan tangan kanan
Umar bin Abu Salamah radhiyallahu’anhu berkata: Dahulu sewaktu kecil aku diasuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, suatu saat tanganku berkeliaran di atas tempat hidangan, maka beliau berkata kepadaku, “Hai nak! Sebutlah nama Allah (baca bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu.” Umar berkata, “Semenjak itu maka cara makanku adalah selalu seperti itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menirukan bacaan mu’adzin
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian mendengar seruan (adzan) maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan mu’adzin.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu). Adapun bacaan al-Hai’alatain -yaitu hayya ‘alash sholah dan hayya ‘alal falah– maka diganti dengan laa haula wa laa quwwata illa billaah (HR. Muslim dari Umar radhiyallahu’anhu)
Sholat tahiyyatul masjid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian masuk masjid maka janganlah dia duduk sampai dia melakukan sholat dua raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Qatadah radhiyallahu’anhu)
Sholat sunnah di antara adzan dan iqomah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap di antara dua adzan -maksudnya antara adzan dan iqomah- ada sholat. Setiap di antara dua adzan ada sholat.” Kemudian pada ketiga kalinya beliau berkata, “Bagi yang mau melakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu’anhu). Namun, apabila iqomah sudah dikumandangkan dan imam pun sudah siap maka sholat sunnah tersebut hendaknya segera diselesaikan jika tinggal sedikit atau diputus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila sholat sudah akan didirikan (iqomah sudah dikumandangkan) maka tidak ada lagi sholat selain sholat wajib.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Shalat sunnah rawatib
Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Aku menghafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh raka’at; dua raka’at sebelum zhuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at setelah maghrib, dua raka’at setelah ‘isyak, dan dua raka’at sebelum sholat subuh…” (HR. Bukhari). Aisyah radhiyallahu’anha berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan sholat empat raka’at sebelum zhuhur dan dua raka’at sebelum subuh.” (HR. Bukhari). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan sholat-sunnah- dua belas raka’at setiap sehari semalam niscaya akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim dari Ummu Habibah radhiyallahu’anha)
Berdoa antara adzan dan iqomah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan tertolak doa yang dipanjatkan di antara adzan dan iqomah.” (HR. Nasa’i dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Khuzaimah dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)
Jangan tergesa-gesa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian telah mendengar iqomah maka berjalanlah menuju sholat dan tetaplah kalian bersikap tenang dan sopan. Jangan terburu-buru, apa yang kalian dapati maka sholatlah -sebagaimana imam- dan apa yang terluput maka sempurnakanlah -sesudah imam selesai-.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila hidangan sore telah tersaji maka dahulukan menikmatinya sebelum kalian sholat maghrib.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)
Doa keluar masjid
Fathimah menceritakan bahwa dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan masuk masjid maka beliau membaca doa, ‘Bismillah, wassalamu ‘ala rasulillah. Allahummaghfirli dzunubi, waftahli abwaba rahmatik’ (dengan menyebut nama Allah dan semoga keselamatan tercurah kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakan untukku pintu-pintu rahmat-Mu). Adapun apabila hendak keluar maka beliau membaca ‘Bismillah, wassalamu ‘ala rasulillah. Allahummaghfirli dzunubi, waftahli abwaba fadhlik’ (dengan menyebut nama Allah dan semoga keselamatan tercurah kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakan untukku pintu-pintu karunia-Mu) (HR. Ibnu Majah, sahih)
Doa masuk masjid
Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu’anhuma berkata, “Kebiasaan beliau -Nabi- apabila hendak masuk masjid maka beliau membaca A’uudzu billaahil ‘azhim wa biwajhihil kariim wa sulthanihil qadiim minasy syaithaanir rajiim (Aku berlindung kepada Allah yang maha agung dan dengan wajah-Nya yang mulia serta kekuasaan-Nya yang ada semenjak dulu kala, dari godaan syaithan yang terkutuk).” (HR. Abu Dawud, sahih)
Apabila terlambat sholat jama’ah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian mendatangi sholat -berjama’ah- sedangkan imam sedang berada dalam suatu keadaan/posisi maka lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh sang imam.” (HR. Tirmidzi dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, sahih)
Sholat Tarawih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sholat yang paling utama setelah sholat wajib adalah sholat malam.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menegakkan sholat malam di bulan Ramadhan karena dorongan iman dan mencari pahala niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Aisyah radhiyallahu’anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah di bulan Ramadhan ataupun di bulan yang lainnya lebih dari sebelas raka’at…” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sholat malam itu dua-dua (salam setiap 2 roka’at, pent)…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya apabila seseorang sholat -tarawih, pent- bersama imam sampai selesai maka dihitung baginya pahala sholat semalam suntuk.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i dari Abu Dzarr radhiyallahu’anhu, sahih)
Perbanyak membaca al-Qur’an
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum karena Kitab ini dan akan merendahkan sebagian yang lain karena Kitab ini pula.” (HR. Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu)
Pahami kandungan al-Qur’an
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki menjadi baik oleh Allah, maka akan dipahamkan dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu’anhu)
Hisablah dirimu
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengucapkan sesuatu yang kalian sendiri tidak mengerjakannya. Amat besar kemurkaan di sisi Allah kalian mengucapkan sesuatu yang kalian sendiri tidak mengerjakannya.” (QS. ash-Shaff: 2-3). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan bergeser dua telapak kaki anak Adam pada hari kiamat hingga ditanyakan kepadanya mengenai empat perkara..” Salah satunya beliau sebutkan, “Tentang ilmunya, apa yang sudah dia amalkan dengannya.” (HR. Tirmidzi, dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu’anhu hasan sahih)
Dzikir sebelum tidur
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu menceritakan bahwa suatu ketika istrinya Fathimah –radhiyallahu’anha– meminta diberikan pembantu kepada ayahnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda, “Maukah ku tunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik bagimu daripada pembantu. Apabila kamu hendak berbaring ke tempat tidur bacalah tasbih -Subhanallah- tiga puluh tiga kali, bacalah tahmid -Alhamdulillah- tiga puluh tiga kali, dan bacalah takbir -Allahu akbar- tiga puluh tiga kali.” Ali pun berkata, “Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perjuangan di sepuluh hari terakhir
Aisyah radhiyallahu’anha berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh -dalam beribadah- pada sepuluh hari terakhir -Ramadhan- lebih daripada kesungguhan beliau pada hari-hari yang lainnya.” (HR. Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Carilah lailatul qadar (malam kemuliaan) pada [malam ganjil] sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha)
Tunaikan zakat fithri di akhir Ramadhan
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menunaikan zakat Ramadhan seukuran satu sho’ makanan, dari anak kecil, orang tua, orang merdeka maupun budak.” (HR. Ibnu Khuzaimah, sahih). Abdul Warits bertanya kepada Ayyub [salah seorang murid Ibnu Umar], “Kapan Ibnu Umar biasa menyerahkan sho’ -zakatnya-?”. Dia -Ayyub- menjawab, “Ketika amil (petugas khusus) sudah duduk -membuka layanan-.” Aku -Abdul Warits- berkata, “Lalu kapan amil itu mulai bertugas?”. Ayyub menjawab, “Sebelum -iedul- fithri sehari atau dua hari.” (HR. Ibnu Khuzaimah). Dan zakat ini disalurkan kepada orang-orang miskin, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “… ia merupakan bahan makanan untuk orang-orang miskin…” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, hasan)
Demikianlah sebagian rangkaian ibadah wajib maupun sunnah yang bisa ditunaikan di bulan Ramadhan. Semoga Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang melimpahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, memberikan taufik kepada kita untuk mengamalkannya, dan mengampuni segala dosa dan kesalahan kita. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.